Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget Atas Posting

Penerapan Local Wisdom Dalam Dunia Konstruksi Indonesia

Indonesia yang luas terdiri dari berbagai budaya etnis barat, tengah, dan bagian timur daerah. Kebudayaan daerah yang dibentuk oleh etnis di kepulauan Indonesia memiliki karakteristik, bahasa, nilai-nilai, dan simbol simbol yang unik dan berasal dari budaya masyarakat.

Proses panjang yang membentuk kebudayaan Indonesia telah menetapkan unsur-unsur budaya untuk tumbuh dan berkembang di tengah-tengah kehidupan masyarakat, seperti agama, bahasa, berbagai bentuk seni, norma, pengetahuan, ekonomi, alat-alat dan budaya bermukim (Meliono, 2011).

Dengan semakin pesatnya perkembangan arsitektur dunia, identitas arsitektur Indonesia (nusantara/tradisional/vernakular) telah meluntur digerus oleh arsitektur dari Eropa dan Amerika. Identitas berarti kesamaan dan kesatuan yang menunjukkan kekhasan atau keunikan dan menopang secara berkesinambungan (Abel, 1997; Hasan, 2009; Anwar, 2011).

Untuk menempatkan kembali arsitektur Indonesia sebagai tuan rumah di negeri sendiri adalah dengan menguatkan pengetahuan tentang konteks budaya yang terkandung dalam arsitektur Indonesia itu sendiri.

Menguatkan pengetahuan ini tentunya dengan cara mengubah pola pikir (mindset) bahwa arsitektur Eropa dan arsitektur Amerika tidak berada di atas arsitektur Indonesia melainkan sejajar, serta mengubah haluan pendidikan arsitektur di Indonesia yang mengarah ke barat menjadi ke timur (Prijotomo, 2013).

Definisi dalam kamus bahasa Inggris-Indonesia John M Echols dan Hassan Shadily, kearifan lokal diderivasi dari dua kata yaitu kearifan (wisdom) atau kebijaksanaan; dan lokal (local) atau setempat.

Jadi menurut beliau, gagasan setempat yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya. Menurut Gobyah dalam Sartini (2004:112) nilai terpentingnya adalah kebenaran yang telah mentradisi atau ajeg dalam suatu daerah.

Geriya dalam Sartini (2004:112) juga menjelaskan hal yang sama, pengertiannya secara konseptual, kearifan lokal dan keunggulan lokal merupakan kebijaksanaan manusia yang bersandar pada filosofi nilai-nilai, etika, cara-cara dan perilaku yang melembaga secara tradisional.

Menurut Antariksa (2009), kearifan lokal merupakan unsur bagian dari tradisi-budaya masyarakat suatu bangsa, yang muncul menjadi bagian-bagian yang ditempatkan pada tatanan fisik bangunan (arsitektur) dan kawasan (perkotaan) dalam geografi kenusantaraan sebuah bangsa.

Hal terpenting dari kearifan lokal adalah proses sebelum implementasi tradisi pada artefak fisik, yaitu nilai-nilai dari alam untuk mengajak dan mengajarkan tentang bagaimana ‘membaca’ potensi alam dan menuliskannya kembali sebagai tradisi yang diterima secara universal oleh masyarakat, khususnya dalam berarsitektur.

Nilai tradisi untuk menselaraskan kehidupan manusia dengan cara menghargai, memelihara dan melestarikan alam lingkungan. (Pangarsa, 2008 : 84).

Hal ini dapat dilihat bahwa semakin adanya penyempurnaan arti dan saling mendukung, yang intinya adalah memahami bakat dan potensi alam tempatnya hidup; dan diwujudkannya sebagai tradisi.

Kearifan lokal dalam arsitektur dapat diihat dari waktu dan tempat, bahwa kearifan lokal dari segi arsitektur berasal dari masa lalu di lingkungan masyarakat setempat yang melaksanakan nilai kearifan lokal tersebut secara terus-menerus dan bertahan hingga sekarang.

Konteks kearifan lokal itu berlaku pada lingkungan setempat, berdasarkan pemikiran masyarakat setempat dan yang mempengaruhinya, sehingga antara kearifan lokal yang satu dengan yang lainnya akan berbeda serta sifatnya lokal.

Sehingga perlu sebuah kajian terhadap kearifan lokalitas arsitektur tersebut mengenai nilai-nilai kearifan yang dapat diterapkan sesuai dengan kondisi dimasa sekarang. Maka dengan demikian peradaban arsitektur tidak terjebak dalam masa lalu, karena ilmu dan arsitektur terus berkembang dan secara otomatis akan terjadi perubahan mengikuti perkembangan tersebut.

Kearifan-kearifan lokal pada dasarnya dapat dipandang sebagai landasan dalam pembentukan jati diri bangsa secara nasional. Kearifan-kearifan lokal itulah yang membuat suatu budaya bangsa memiliki akar (Sayuti,2005).

Motivasi menggali kearifan lokal sebagai isu sentral secara umum adalah untuk mencari dan akhirnya jika dikehendaki, menetapkan identitas bangsa, yang mungkin hilang karena proses persilangan dialektis seperti dikemukakan di atas, atau karena akulturasi dan transformasi yang telah, sedang, dan akan terus terjadi sebagai sesuatu yang tak terelakkan.

Bagi kita, upaya menemukan identitas bangsa yang baru atas dasar kearifan lokal merupakan hal yang penting demi penyatuan budaya bangsa di atas dasar identitas daerah-daerah nusantara (Sayuti, 2005).

Dalam kaitan ini, kearifan lokal yang terkandung dalam sistem seluruh budaya daerah atau etnis yang sudah lama hidup dan berkembang adalah menjadi unsur budaya bangsa yang harus dipelihara dan diupayakan untuk diintegrasikan menjadi budaya baru bangsa sendiri secara keseluruhan.

Pengembangan kearifan kearifan lokal yang relevan dan kontekstual memiliki arti penting bagi berkembangnya suatu bangsa, terutama jika dilihat dari sudut ketahanan budaya, di samping juga mempunyai arti penting bagi identitas daerah itu sendiri.

Kearifan lokal yang juga meniscayakan adanya muatan budaya masa lalu, dengan demikian, juga berfungsi untuk membangun kerinduan pada kehidupan nenek moyang, yang menjadi tonggak kehidupan masa sekarang.

Kearifan-kearifan lokal pada dasarnya dapat dipandang sebagai landasan dalam pembentukan jati diri bangsa secara nasional. Kearifan-kearifan lokal itulah yang membuat suatu budaya bangsa memiliki akar (Sayuti,2005).

Motivasi menggali kearifan lokal sebagai isu sentral secara umum adalah untuk mencari dan akhirnya jika dikehendaki, menetapkan identitas bangsa, yang mungkin hilang karena proses persilangan dialektis seperti dikemukakan di atas, atau karena akulturasi dan transformasi yang telah, sedang, dan akan terus terjadi sebagai sesuatu yang tak terelakkan.

Wujud dari kearifan lokal dibagi menjadi 2 (dua) yaitu :

Tangible (Berwujud)

Tangible (Berwujud) bentuk dari kearifan lokal yang tangible adalah karya-karya arsitektur tradisional di Indonesia. Arsitektur vernakular sangat terkait erat dengan konteks lingkungan setempat dan berasal dari kearifan lokal masyarakatnya.

Arsitektur tradisional dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain: ketersediaan material, jenis iklim dan keadaan lingkungan sekitar, tapak dan topografi, kemampuan ekonomi, penguasaan teknologi, kebutuhan hidup sehari-hari, simbolisme dan makna (Setyowati, 2008).

Masyarakat tradisional menggunakan pengetahuan yang telah terjadi turun temurun untuk membangun bangunan tradisionalnya dan pengetahuan ini mengalami perbaikan (trials and errors) dan perubahan sesuai dengan kondisi alam, simbol, kemajuan teknologi dan lain lain.

Arsitektur Tradisional Minangkabau misalnya Rumah Gadang mencerminkan kearifan lokal masyarakatnya dalam beradaptasi dengan alam tempat bangunannya berdiri. Ukuran Rumah Gadang tidak tentu, melainkan mengikuti ukuran ketersediaan tanah datar yang ada.
Rumah gadang, arsitektur yang mencerminkan kearifan lokal di Indonesia
Rumah gadang, arsitektur yang mencerminkan kearifan lokal di Indonesia
Intangible (Tidak Berwujud)

Intangible (Tidak Berwujud), kearifan lokal yang tidak berwujud ini dapat ditemui seperti dalam petuah petuah yang disampaikan secara verbal dan turun temurun dapat berupa nyanyian, kidung yang mengandung ajaran-ajaran tradisional.

Pertama kali konsep kearifan lokal (local wisdom) ini menurut Koentjaraningrat yang dikutip Kasiyan dan Ismadi diperkenalkan oleh arkeolog H.G Quaritch Wales dalam tulisannya berjudul “The Making of Greater India: A Study in South-East Asia Culture Change” yang dimuat dalam Journal of the Royal Asiatic Sociaty (1948).

Ciri-ciri khas atau yang biasa disebut sebagai ‘pribumi’ itulah, yang oleh Wales diistilahkan ‘local genius’, yang di dalamnya terkandung makna sebagai ‘basic personality of each culture’.

Dengan mengacu pendapat Wales mengenai local genius secara luas, dapat diartikan sebagai proses cultural characteristic, yakni perkembangan dari proses fenomenologis ke sifat kognitif, memiliki dasar:
  1. Menunjukkan pandangan hidup dan sistem nilai dari masyarakat (orientation).
  2. Menggambarkan tanggapan masyarakat terhadap dunia luar (perception).
  3. Mewujudkan tingkah laku masyarakat sehari-hari (attitude dan pattern of life).
  4. Mewarisi pola kehidupan masyarakat (life style)

Skema hubungan manusia, alam, dan arsitektur
Skema hubungan manusia, alam, dan arsitektur
Bangunan dengan Kearifan Lokal Tradisional di Indonesia

Arsitektur tradisional merupakan salah satu hasil dari kearifan lokal yang berwujud nyata tangible. Khususnya di Indonesia memiliki begitu banyak arsitektur tradisional yang tersebar diwilayah nusantara.

Arsitektur yang lahir dari masyarakat di kepulauan nusantara, memiliki kekayaan keragaman kehidupan pada kondisi iklim tropis.

Rumah-rumah tradisional merupakan salah satu keunikan, keragaman, mengandung nilai alam dan budaya, muncul dengan ciri khas yang berbeda pada rumah tradisional Aceh, Batak, Nias, Riau, Minang, Jawa, Sunda, Madura, Bali, Banjar, Bugis, Maluku hingga ke Papua.

Dalam hubungan arsitektur dan budaya, rumah tradisional di Indonesia dipandang sebagai bentuk strategi adaptasi terhadap alam seperti gempa melalui rekayasa struktur konstruksi (sistem sambungan dan tumpuan) dengan eksplorasi material lokal (batu, kayu dan bambu), (Rapoport, 1969).

Sebagian besar rumah tradisional di Indonesia menggunakan sistem struktur knockdown sehingga dapat dibongkar pasang dan dapat dipindah tempat. Sistem struktur knockdown dengan menggunakan sistem konstruksi pen dari balok kayu yang dimasukkan di dalam lubang pada kolom.

Sistem struktur membentuk hubungan struktur pola ruang vertikal dan horizontal pada rumah tradisional ini. Selain itu rumah tradisional kebanyakan dalam bentuk rumah panggung, sebagai bentuk perlindungan dari binatang buas maupun sebagai bentuk kepekaan terhadap iklim dengan memanfaatkan aliran udara melalui kolong rumah.
Rumah adat Suku Kaili, Sulawesi Tengah memiliki ketahanan terhadap gempa dan tsunami
Rumah adat Suku Kaili, Sulawesi Tengah memiliki ketahanan terhadap gempa dan tsunami
Kearifan Lokal dalam Era Globalisasi

Di era globalisasi kita dapat belajar dari sikap hidup masyarakat tradisional dalam mengelola lingkungan hunian hidupnya.

Seiring dengan peningkatan teknologi dan transformasi budaya ke arah kehidupan modern serta pengaruh globalisasi, warisan budaya dan nilai nilai tradisional menghadapi tantangan terhadap eksistensinya.

Hal ini perlu dicermati karena warisan budaya dan nilai-nilai tradisional tersebut mengandung banyak kearifan lokal yang masih sangat relevan dengan kondisi saat ini, dan seharusnya dilestarikan, diadaptasi atau bahkan dikembangkan lebih jauh.

Dalam arsitektur kini, kearifan lokal ini harus diwujudkan sesuai dengan perkembangan teknologi dan pemikiran menumbuh-kembangkan yang ada bukan hanya copypaste bentuk atau mengulang masa lalu.

Perlu dipahami bahwa apabila kita mengabaikan kearifan lokal maka kondisi lingkungan ekologis kita akan semakin buruk. Lingkungan tidak lagi mampu mewadahi aktivitas manusia sehingga akan menimbulkan banyak kejadian bencana.

Oleh karena itulah penting untuk dilakukan pelestarian kearifan lokal. Penekanan yang harus dilakukan terhadap pelestarian kearifan lokal yaitu dengan menjadikan norma adat dan tradisi budaya sebagai muatan dalam peraturan perundang-undangan.
PLBN SKOUW yang dibangun oleh Kementeria PUPR menggunakan konsep kearifan lokal tanah papua
PLBN SKOUW yang dibangun oleh Kementeria PUPR menggunakan konsep kearifan lokal tanah papua
Dari penjelasan diatas maka didapatkan beberapa peraturan perundang-undangan yang mendukung kelestarian kearifan lokal, yakni (Ermawi, 2010) :
  1. UU No 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang yang mengatur tentang penetapan kawasan strategis dari sudut kepentingan sosial budaya baik pada tingkat nasional/provinsi sampai dengan kabupaten/kota.
  2. UU No 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, dikatakan bahwa penetapan kebijakan tentang pengelolaan lingkungan hidup dan penataan ruang harus tetap memperhatikan nilai-nilai agama, adat istiadat dan nilai-nilai hidup dalam masyarakat.
  3. UU No 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya mengatur perlindungan dan pelestarian benda cagar budaya harus dilakukan secara optimal melalui perlindungan terhadap nilai-nilai budaya tradisional yang sarat dengan kearifan lokal.
  4. UU No 28 tahun 2002 tentang Bangunan Gedung mengatur tentang perlunya perlindungan terhadap bangunan yang memiliki nilai sejarah dan persyaratan untuk mengakomodasi dan mempertimbangkan nilai-nilai sosial budaya setempat dalam pengembangan/pemeliharaan arsitektur gedung dan bangunan bersejarah.
  5. UU No 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air mengatur tentang kelestarian kawasan irigasi yang memiliki kearifan lokal.
  6. UU No 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau Kecil.
Arsitektur merupakan artefak fisik sebagai perwujudan budaya manusia di dalamnya. Arsitektur kemudian menjadi sebuah identitas budaya yang juga menunjukkan tingkat peradaban pada masanya. Dalam upaya pelestarian kearifan lokal dalam arsitektur saat ini, harus menyesuaikan peradaban tersebut.

Teknologi yang digunakan pun harus maju ke depan bukan mengulang kembali masa lalu tanpa memahami esensinya. Namun keberadaan arsitektur tradisional tentu juga harus dijaga keberadaannya sebagai sumber ilmu pengetahuan di masa mendatang.

Penulis, Veronica Kusumawardhani, ST., M.Si., Pejabat Fungsional Permukiman Direktorat Jenderal Cipta Karya, Firman Budi Prihartono S.T Penelaah Jasa Konstruksi KNOWLEDGE MANAGEMENT Penerapan Teknologi Konstruksi
M Hadi H, S.T.
M Hadi H, S.T. Sharing and building, berharap dapat berpartisipasi walaupun dalam hal kecil untuk kemajuan pengetahuan - Mengabdi di Dinas Pekerjaan Umum salah satu instansi Pemerintah Daerah

Post a Comment for "Penerapan Local Wisdom Dalam Dunia Konstruksi Indonesia"